sumpah! aku bikin blog ini cuma buat gagah-gagahan doang kok! bohong kalo ada yang bilang aku bikin blog ini cuma sebagai catatan harian!!!

Sunday, October 29, 2006

sebuah catatan di penghujung pagi

Asbak penuh puntung rokok yang terbakar habis.

Rokok mungkin “mahluk” yang mulia. Demi menyenangkan “sang junjungan”, ia rela menjadi martir. Mati terbakar dan terbuang. Setia dalam diam.Demi kepuasan sang junjungan. Namun, rokok juga mungkin “seorang” penjilat! Menggerogoti kehidupan dari dalam. Menawarkan kenikmatan yang harus di tebus dengan harga yang sangat, sangat mahal.

Tapi kenapa aku malah membahas rokok? kenapa aku nggak membahas yang lain? Let see, di meja makan tempat aku ngejogrok sekarang, ada banyak benda selain rokok. ada botol green sands yang sudah tandas tak tersisa, ada segelas kopi yang telah kehilangan kehangatannya, ada botol saus yang isinya sudah aus di hajar kadaluwarsa, dan masih banyak benda lain. Piring, sendok, tudung saji, bahkan… kamera dijital 5 mega piksel! Kenapa bisa ada kamera di meja makan? Kamera dan meja makan ngga ada korelasinya ama sekali kan? Kalian boleh tereak-tereak memprotes keberadaan sang kamera di meja makan. Tapi itu kenyataannya. Ada kamera di meja makan. Betapa meja itu begitu penuh pengertian. Merelakan tubuhnya di tempati benda yang tidak ada hubungan sama sekali dengan keberadaan dirinya sendiri.

Sama seperti bumi yang kita tinggali sekarang. Betapa ibu bumi begitu penuh pengertian. Merelakan tubuhnya yang telah renta ini untuk di tempati oleh “benda” bernama manusia. Sama seperti kamera yang tidak memberi nilai tambah pada keberadaan sebuah meja, manusia pun agaknya tidak pernah atau jarang sekali memberi nilai tambah kepada bumi. Bahkan manusia bersikap lebih kurang ajar di banding kamera yang ada di meja makan. Kamera yang ada di meja makan hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa di atas meja makan. Cuma menunggu waktu untuk di pindahkan sang pemilik ke tempat yang lebih baik. Manusia? Tidak cukup hanya memenuhi setiap sudut bumi dan mengaku-ngaku sebagai penguasa. Manusia bahkan secara sistematis dan terus menerus mengeksploitasi bumi. Bukannya memberi nilai tambah kepada bumi. Manusia memiliki kecenderungan untuk memperkosa bumi sampai di luar batas kewajaran. Penebangan hutan yang tidak terkendali, memproduksi polusi besar-besaran, menemukan efek rumah kaca, dan semuanya atas nama kemajuan, atas nama pembangunan. Bumi baik-baik saja, sampai hadirnya sebuah makhluk berjudul manusia datang dan memporak-porandakan bumi.

Apakah bumi protes atas semua tindakan manusia? Ngga sama sekali. Bumi, dengan segala pengertian dan kebijaksanaannya, menerima manusia berjalan di atas permukaannya. Meskipun sakit, meskipun terluka, meskipun kadang harus menahan tangis, bumi ngga pernah sekalipun mempunyai pikiran untuk membalas perbuatan manusia. Bumi tampaknya sudah menguasai ilmu ikhlas.

Sebagian manusia sering menuduh bahwa bumi sedang marah saat laut, yang notabene bagian dari bumi, mengirimkan tsunami. Atau saat bumi bergemeretakan. Padahal, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tsunami adalah tanda keakraban antara laut dan daratan. Sama seperti pelukan erat di antara dua sahabat yang telah lama tak bertemu. Dan wajar kalo sesekali bumi bergemeretakan. Ingat, bumi sudah tua sekali! Sama seperti kakek-kakek yang sudah banyak kehilangan “oli” untuk melumasi persendiannya. Demikian pula bumi. Its normal mate!

Seharusnya kita ngga mengeluh kalo hal tersebut menimpa kita. Itu resiko yang mungkin saja terjadi selama kita berdiam di atas bumi. Tau ngga? Kamera yang ada di meja makan pun menyadari resiko berada di atas meja makan. Dia bisa saja terkena percikan saos yang sudah kadaluwarsa, mungkin saja terkena abu rokok yang menumpuk melebihi daya tampung asbak. Yang palin parah, bisa saja dia terendam air yang tumpah dari gelas yang berdiri miring menunggu jatuh, di atas meja. Dan karena menyadari segala resiko tersebut, kamera ngga pernah sekalipun mengeluh.

Mungkin kita memang harus belajar dari kamera yang ada di atas meja makan. Yang hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa di atas meja makan. Cuma menunggu waktu untuk di pindahkan sang pemilik ke tempat yang lebih baik. Mungkin kita juga sebaiknya berdiam diri, menahan nafsu untuk merusak bumi lebih parah lagi. Mungkin kita sebaiknya menerima saja pemberian sang bumi yang sudah begitu baik terhadap kita. Sampai tiba waktunya “pemilik” kita memindahkan kita ke tempat yang lebih baik.

Mungkin juga sekarang waktu yang paling tepat buat aku menyudahi “kuliah” yang ngga mutu ini.. Atau, bagaimana kalo kita lanjutkan dengan membahas piring, botol saos, dan segala macam benda yang ada di atas meja makan tua ini?

hahahaha…. Aku Cuma bercanda teman [aku bisa mendengar teriakan protes kalian dari sini]… oke ini saatnya untuk mematikan laptop, menandaskan kopi yang tinggal se-kecretan, dan menyerah pada pelukan sang malam. Sampai ketemu lagi di kuliah-kulian ngga mutu-ku yang lainnya…
p.s: met lebaran buat semua yang merayakannya...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home